Kamis, 10 Maret 2016

Ketika Suami Istri Harus Menjalani Pernikahan Jarak Jauh

Ketika Suami Istri Harus Menjalani Pernikahan Jarak Jauh

Sahabat Ummi, menikah bukan perkara sah di mata hukum positif dan agama. Namun, banyak hal yang menjadi pemikiran karena memang pernikahan bukan sekedar menyatukan dua insan untuk eksis menjalani kehidupan secara finansial.
Hal yang perlu diperhatikan sebenarnya bukan memperkuat fondasi keuangan keluarga, tapi lebih dari itu fondasi ikatan batin antara suami istri. Suka, duka, sedih, bahagia haruslah dirasakan bersama-sama, bukan hanya satu pihak saja.
Jika pernikahan itu baru seumur jagung, banyak sekali ‘pekerjaan rumah’ yang harus dijalani, dibenahi dan dicarikan jalan keluar. Bukan hanya perkara, suami istri harus paham dengan kondisi yang sebenarnya bukan kondisi terbaik, bahkan dalam Islam pun tidak menyukai hal ini terjadi, apabila pernikahan itu menjadi timpang karena kondisi tertentu yang sebenarnya masih bisa diperbaiki.
Salah satu yang dianggap hal biasa, padahal memberi efek luar biasa dalam pernikahan adalah pernikahan yang dijalani secara jarak jauh. Pernikahan semacam ini memang seringkali menghadapi tantangan yang besar. Bisa jadi memang istri tidak ikut suami dengan berbagai alasan, mungkin karena tempat bekerja suami itu ada di pelosok pulau, atau memang secara penghasilan belum memadai hingga tak bisa memberikan perumahan dan biaya hidup yang layak bila ikut suami, atau memang pekerjaan yang berisiko atau memang tak boleh istri atau keluarga ikut semisal jadi tentara yang bertugas di perbatasan, atau pedalaman, kerja di pengeboran minyak lepas pantai atau  jadi nahkoda antar negara yang tak memungkinkan mengajak keluarga dalam bekerja.
Namun ada satu hal yang patut menjadi  perhatian, yakni jika suami kerja di suatu daerah yang memungkinkan istri menemani dengan anak-anak untuk ikut bersama suami, mengapa tidak?
Karena memang pada dasarnya tujuan pernikahan itu dalam Islam adalah terwujudnya rasa aman, nyaman, tenang sakinah mawadah warahmah kasih sayang bagi pasangan suami istri. Seperti terdapat dalam ayat Alquran yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar Rum : 21).
Kebersamaan suami istri dalam satu rumah memang penting, disamping menumpahkan kasih sayang, kebutuhan biologis juga saling bantu dan dukung di saat masing-masing pribadi ada permasalahan atau disaat rapuh.  Namun,jika terpaksa suami istri harus terpisah dengan alasan tertentu, maka menunaikan hak dan kewajiban harus tetap ada, bagaimana pun caranya.
Sebenarnya dalam Islam ada salah satu wejangan pernikahan yang diberikan oleh ustadz Wahyudin di Surakarta, jika pernikahan itu akan terbentuk dengan sakinah mawadah warahmah saat pasangan tersebut salah satunya mencari rezekinya di dekat rumahnya. Hal ini mengisyaratkan, jika memungkinkan pasangan suami istri itu memang laiknya hidup berdampingan untuk saling menjaga, menggiring nyaman dan bisa meluapkan rasa kasih sayang dengan lebih mudah dan mengamati tumbuh kembang anak secara bersama.
Namun jika terpaksa harus menjalani cinta jarak jauh, berapakah lama maksimal waktu mereka tidak bertemu dalam Islam dengan alasan bekerja atau sebab lain? Syaikh Dr Su’ad Shalih mengatakan jika batas maksimum suami diperbolehkan berada jauh dari istrinya adalah empat bulan, dan menurut ulama Hanbali batasnya adalah 6 bulan. Dan batas ini merupakan waktu maksimum seorang wanita dapat bertahan perpisahan dari suaminya.
Mengapa dalam Islam hal ini dibahas? Karena sebuah kisah dari Khalifah Umar bin Khatthab yang saat berkeliling ditengah malam untuk melihat kondisi nyata masyarakatnya. Tiba-tiba disebuah rumah ia mendengar suara wanita yang tengah meratap:
Malam ini panjang, berselimut dingin dan kegelapan; Saya tidur sendiri tanpa teman, Demi Allah, seandainya bukan karena takut kepada-Nya, niscaya ranjang itu sudah bergoyang.
Umar lalu menyelediki, ternyata wanita tersebut memang ditinggal suaminya untuk bertugas pada dinas militer (berperang). Kemudian, Umar bertanya pada putrinya Hafsah janda Rasulullah SAW mengenai berapa lama seorang wanita dapat bertahan ditinggal pergi suaminya? Dan Hafsah menjawab selama empat bulan. Hingga peristiwa ini memicu Umar membuat peraturan jika tentara yang berperang melawan musuh atau menjaga perbatasan, maka ia harus pulang dan digantikan yang lain tidak lebih dari 4 bulan.
Namun, jika istri merelakan suami untuk  pergi lebih dari 4 bulan untuk urusan tertentu, ikhlas untuk tidak diberi hak-hak secara batiniah selama itu maka hal ini merupakan suatu pengecualian saat keduanya ada sebuah kesepakatan untuk ridha.


Jika pasangan suami istri memutuskan untuk menjalani pernikahan jarak jauh dalam Islam ada hal-hal yang perlu diperhatikan:
1. Ridha
Jangan anggap sepele satu hal ini, dengan menganggap tahu sama tahu saat salah satu pihak harus pergi jauh, hingga merasa sudah kewajiban salah satu pihak untuk ridha atau ikhlas.
Perasaan ikhlas dan ridha atas pernikahan yang dijalani secara LDR memang harus terbentuk kedua belah pihak dengan jalan komunikasi yang terbina dengan baik. Jika salah satu pihak keberatan, maka dikemudian hari akan membuat ketidakharmonisan dalam keluarga.
2. Ingat, sesering suami atau istri datang kerumah atau menjenguk, maka hal itu lebih baik.
Jika ada waktu longgar, maka suami atau istri bisa saling bertemu tak harus sampai ketentuan hari kesepakatan bertemu. Hal ini juga menunjukkan fleksibel. Apabila suami tak bisa datang menjenguk rumah karena kesibukannya, maka jika memungkinkan gantian istri yang mendatangi suami.
3. Mencoba mengikuti anjuran Umar Bin Khaththab, maksimal 4 bulan berpisah dengan suami, namun jika memang suatu darurat (keadaan perang, kondisi gawat di suatu daerah konflik, atau mengerjakan proyek yang tak bisa ditinggalkan), maka hal ini menjadi pengecualian dengan pembicaraan yang intens dengan istri. Namun apabila tidak ada suatu hal yang merintangi atau permasalahan apapun, maka jika lebih dari 4 bulan, maka suami melakukan ‘perbuatan yang kurang menyenangkan’ untuk istri.
4. Hati-hati dengan perangkat media sosial dan semacamnya. Tanpa pengawasan masing-masing pihak, maka kemudahan dunia maya ini akan menjadi racun dan buah simalakama bagi keharmonisan kedua belah pihak. LDR mengandung resiko yang terbesar yakni masuknya hati lain di kehidupan suami istri, untuk itu menjaga komitmen pernikahan memang harus diperkuat.
5. Jika tidak alasan yang penting bagi istri untuk bertahan di kota asal, maka sebaiknya dimana suami bertugas, istri cobalah untuk mengalah menemaninya, walau di pedalaman sekalipun. Karena pada dasarnya dukungan istri dan keluarga amat sangat penting untuk kesuksesan dan keharmonisan rumah tangga.
Surga hadiah terindah buat istri yang mau mengorbankan kesenangan, termasuk kenyamanan di kota asal untuk mengikuti suami. Hal ini dikarenakan banyak kisah dari beberapa pasangan yang terpaksa berpisah karena asalan pekerjaan, yang sebenarnya masih bisa dijangkau atau dikomunikasikan hal terbaiknya bersama.
Sahabat Ummi, pernikahan LDR memang mempunyai tingkat resiko yang lebih tinggi dari pernikahan umumnya. Jika memang komitmen pernikahan diperkuat, maka resiko yang mengintai keutuhan rumah tangga tentu lebih kecil. Banyak berdoalah dan memohon pada Allah untuk melindungi dan melanggengkan kehidupan pernikahan yang dijalani, baik secara biasa saja, terlebih secara LDR.

0 komentar:

Posting Komentar