Bagi Kokom dan bayi laki-lakinya, yang masih merah berusia sepekan, hidup tak memberi banyak pilihan.
Di tengah matahari terik dan udara penuh debu, Kokom dan bayi Rahman terpaksa hidup di pinggiran Jalan Ciateul, Bandung. Mereka tak punya apa-apa selain satu tas ransel yang berisi kain, baju bayi, susu, dan botol.
Kokom lahir dan besar di jalanan, begitu pula sepuluh anak Kokom dan tujuh cucunya.
Nasibnya tak jauh berbeda dengan Adit dan Nining, kawannya yang menjadikan gerobak mie instan sebagai usaha sekaligus rumahnya.
Jalan untuk lepas dari kehidupan pinggiran di jalan "terlampau sulit", kata aktivis sosial dari Yayasan Semak. "Seperti lingkaran setan, yang susah diputus."
Kokom, menghabiskan 40 tahun hidupnya di pinggir jalan, menikah di usia yang terlampau muda, dan hingga kini mengemis di keramaian tiap hari.
"Sedih," katanya dengan nada frustrasi, namun tersediakah jalan keluar baginya? Kokom bercerita:
Gelas-gelas plastik
Jika diminta bernostalgia atau mengenang masa kecil, Kokom mungkin hanya membayangkan tumpukan gelas air mineral dan gubuk-gubukan di Lapangan Gasibu.
Dia tinggal bersama ibunya yang memulung dan menjual sampah. Kokom bercerita bahwa ibunya "disakiti dan ditinggal pergi bapak" sehingga mereka harus hidup mandiri menjual apa yang ada.
Menginjak 12 tahun, Kokom kecil dinikahkan dengan Ayat, pemuda yang berusia 15 tahun. Sebuah kebiasaan yang umum terjadi pada anak perempuan seusianya di jalanan.
Tanpa sekolah dan kegiatan pengembangan diri, banyak anak terpapar kehidupan malam termasuk seks tak dikehendaki, alkohol, lem (untuk mabuk), dan obat terlarang.
Kemudian, lahirlah Rika, anak pertama Kokom. Bersama Ayat, Kokom memiliki lima anak perempuan dan satu laki-laki.
Dengan lantang, dia berhitung, "ada Rika, Susan, Sumi, Yadi, Lia, dan Tia."
Namun setelah 28 tahun, Kokom dan Ayat tak akur. "Pingin pisah saja, puyeng," kata Kokom enggan bercerita. "Ibu yang kerja, usaha, minta-minta. Ibu merasa jadi tulang punggung."
Mengingat anak-anak
Setelah berpisah, Kokom ikut dengan suami kedua bernama Yayan. Mereka hidup berpindah-pindah dan memiliki empat anak: Kamal (9 tahun), Adrian (8 tahun), Jia (28 bulan), dan Rahmat (1 minggu).
Hidup bersama Yayan tak juga berujung bahagia. Dua bulan lalu, saat Kokom mengandung delapan bulan, Yayan menelantarkannya dan pergi dengan perempuan lain.
Di tahap inilah Kokom mengaku tak lagi punya harapan. Hidupnya tertekan, kepalanya dipenuhi hal-hal yang tak sanggup dia pikirkan.
Dia mengingat anak-anaknya: seluruhnya 10 anak dari dua suami.
Satu siang, di pinggir jalan, Kokom menenggak 20 pil obat sakit kepala, berpikir untuk mati.
“Mama jangan makan itu," tangis Adrian, anaknya yang baru 8 tahun.
Pikiran Kokom kalut. “Ada yang ngomong sabar-sabar, tapi enggak tau, saya sudah stress, memikirkan anak bagaimana.”
Adrian lalu memanggil kakak Kokom yang kemudian membawanya ke rumah sakit. Untungnya tak ada dampak serius dan Rahman bisa dilahirkan normal.
Mencari jalan keluar
“Enggak suka hidup begini, sedih. Ibu sudah gak mau," kata Kokom dengan nada frustrasi.
Tapi apa jalan keluar yang tersedia? Nyatanya, nyaris tidak ada.
Dengan tanggungan tiga anak - Adrian (8 tahun), Jia (28 bulan), dan Rahman yang baru lahir - Kokom hanya bisa mendapat Rp30.000 sampai Rp60.000 dari mengemis.
Satu kali, Kokom pernah masuk program bina usaha Dinas Sosial, diajarkan membuat kue selama empat bulan. Setelah keluar, dia dibekali peralatan membuat kue, dengan harapan bisa dipakai untuk modal usaha.
Namun, uang adalah barang mewah. Peralatan membuat kue itu digadai untuk melunasi kontrakan. Satu dua bulan setelah itu, ketika tak lagi punya uang, Kokom kembali hidup di pinggir jalan.
"Ada yang pernah menawarkan kerjaan, jadi TKW. Ibu enggak mau," katanya. Dia mendengar cerita-cerita buruk tentang tetangga-tetangganya yang pergi ke luar negeri, tetapi pulang tidak digaji.
Cucu 'yang disewa'
Kokom masih rajin mengunjungi beberapa anaknya yang sudah menikah, Sumi salah satunya yang memiliki bayi 26 bulan bernama Agung.
Kepada saya, dia bercerita tentang Ikin, perempuan yang sering meminjam Agung untuk mengemis.
"Mau dibawa usaha katanya, sama saya dikasih."
Agung biasa dipinjam pagi-pagi selama satu hingga dua jam. Ikin punya teknik mengemis yang disebut 'bubuntungan' atau pura-pura buntung.
Dengan mengendong anak, orang-orang lebih kasihan dan Ikin bisa mendapat Rp150.000 dalam beberapa jam saja.
Hasil dibagi dua, kata Kokom. Beberapa bulan setelahnya Agung hilang.
Bola-bola plastik
Kini, setelah Rahman lahir, Kokom mengaku semangatnya untuk hidup menyala lagi.
Kokom bermimpi satu hari nanti, jika ia punya cukup uang, dia ingin menyewa kontrakan agar anak-anaknya punya atap.
"Saya mau usaha kalau punya modal, jualan bola-bola plastik," katanya sambil tersenyum.
Bola-bola plastik, katanya, banyak diminati karena anak-anak gemar bermain di lapangan rumput sintetis di alun-alun kota Bandung.
_________________________________________________
*) Kementerian Sosial mengatakan tidak ada angka pasti berapa jumlah pemulung dan pengemis di jalanan. Namun orang-orang yang tidak terdaftar menjadi warga negara bisa mencapai 5,5-6 juta (termasuk pengemis, gelandangan, suku anak dalam, warga terpencil, dan penganut kepercayaan yang tak ingin mencantumkan agama dalam KTP). Menteri Sosial mengakui bahwa pelatihan ketrampilan bagi para pengemis tidak efektif. Beberapa upaya yang sudah dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan bekerja sama dengan daerah-daerah asal pengemis untuk peningkatan program pembinaan ketrampilan yang disertai dengan resosialisasi dan bimbingan komunitas. Namun para aktivis mendorong pemerintah untuk berbuat lebih banyak, tidak sekadar menciptakan program instan yang tak menyelesaikan masalah.
0 komentar:
Posting Komentar