67 tahun sejak
peristiwa pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 dan kemudian berulang kembali
peristiwa pemberontakan pada G30SPKI tahun 1965, namun ancaman komunisme di
Indonesia seakan sengaja dibiaskan. Bahkan beberapa pihak sempat mewacanakan
agar pemerintah Indonesia harus meminta maaf terhadap kader-kader Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Berikut ini tulisan
dari sejarawan bernama Agus Sunyoto yang mengungkapkan fakta sejarah bagaimana
kebiadaban PKI dalam upaya melakukan maker dan pemberontakan, ribuan nyawa umat
islam Indonesia telah menjadi korban, simbol-simbol islam telah dihancurkan.
Kebiadaban PKI Madiun
1948 Terhadap Ulama NU “Tanggal 18 September 1948 pagi sebelum terbit fajar,
sekitar 1500 orang pasukan FDR/PKI – 700 orang diantaranyadari kesatuan Pesindo
pimpinan Mayor Pandjang Djoko Prijono – bergerak ke pusat kota Madiun. Kesatuan
CPM, TNI, Polisi beserta aparat pemerintahan sipil terkejut ketika diserang
mendadak. Terjadi perlawanan singkat di markas TNI, Kantor CPM, kantor Polisi.
Pasukan Pesindo
bergerak cepat menguasai tempat-tempat strategis di Madiun. Saat fajar terbit,
Madiun sudah jatuh ke tangan FDR/PKI. Sekitar 350 orang ditahan,”
Keberhasilan FDR/PKI
menguasai Madiun disusul terjadinya aksi penjarahan, penangkapan
sewenang-wenang terhadap musuh PKI, menembak musuh PKI, kegemparan dan
kepanikan pun pecah di kalangan penduduk, diiringi tindakan-tindakan bersifat
fasisme yang berlangsung dengan mengerikan. Semua pimpinan Masyumi dan PNI
ditangkap atau dibunuh.
Orang-orang berpakaian
Warog Ponorogo dengan senjata revolver dan kelewang menembak atau menyembelih
orang-orang yang dianggap musuh PKI. Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang
jalan. Bendera merah putih dirobek diganti bendera merah berlambang palu arit.
Potret Soekarno diganti potret Moeso. Seorang wartawan Sin Po yang berada di
Madiun, menuliskan detik-detik ketika PKI pamer kekejaman itu dalam reportase
yang diberi judul: ‘Kekedjaman Kaoem Communist; Golongan Masjoemi menderita
paling heibat; Bangsa Tionghoa “ketjipratan” djoega.’
Pada detik, menit dan
jam yang hampir sama, di kota Magetan sekitar 1.000 orang pasukan FDR/PKI – 700
orang diantaranya dari Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Moersjid – bergerak
cepat menyerbu Kabupaten, kantor Komando Distrik Militer (Kodim), Kantor Onder
Distrik Militer (Korami), Kantor Resort Polisi, rumah kepala pengadilan, dan
kantor pemerintahan sipil di Magetan. Sama dengan penyerangan mendadak di
Madiun, setelah menguasai Kota Magetan dan menawan Bupati, Patih, Sekretaris
Kabupaten, Jaksa, Ketua Pengadilan, Kapolres, komandan Kodim, dan aparat
Kabupaten Magetan, terjadi aksi penangkapan terhadap tokoh-tokoh Masyumi dan
PNI di kampong-kampung, pesantren-pesantren, desa-desa, pabrik gula, diikuti
penjarahan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan. Wartawan Gadis Rasid yang
menyaksikan pembantaian missal di Gorang-Gareng, Magetan, menulis reportase
tentang kebiadaban FDR/PKI tersebut. Pembunuhan, perampokan dan penangkapan
yang dilakukan FDR/PKI itu diberitakan surat kabar Merdeka 1 November 1948.
Meski tidak sama dengan
aksi serangan di Madiun dan Magetan yang sukses mengambil alih pemerintahan,
serangan mendadak yang sama pada pagi hari tanggan 18 September 1948 itu
dilakukan oleh pasukan FDR/PKI di Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Ngawi,
Purwodadi, Kudus, Pati , Blora, Rembang, Cepu. Sama dengan di Madiun dan
Magetan, aksi serangan FDR/PKI meninggalkan jejak pembantaian missal terhadap
musuh-musuh mereka. Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa Tengah tahun
1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat pemerintah, tapi
juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan mereka yang dikenal
Karena kesalehannya kepada islam: mereka itu ditembak, dibakar sampai mati,
atau dicincang-cincang. Mesjid dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya
dikunci di dalam madrasah, lalu madrasahnya dibakar. Tentu mereka tidak bisa
berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang
dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan. Setelah itu, rumah-rumah
pemeluk Islam dirampok dan dirusak.
Tindakan kejam FDR/PKI
selama menjalankan aksi kudeta itu menyulut amarah Presiden Soekarno yang
mengecam tindakan tersebut dalam pidato yang berisi seruan bagi “rakyat
Indonesia untuk menentukan nasib sendiri dengan memilih: ikut Muso dengan
PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka- atau ikut
Soekarno-Hatta, yang insya Allah dengan bantuan tuhan akan memimpin Negara
Republik Indonesia ke Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apapun
juga. Presiden Soekarno menyeru agar rakyat membantu alat pemerintahan untuk
memberantas semua pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di
daerah. Madiun harus lekas di tangan kita kembali.”
Seruan Presiden
Soekarno disambut oleh Menteri Hamengkubowono yang disusul sambutan Menteri
Soekiman dan Jenderal Soedirman yang membacakan surat keputusan pengangkatan
Mayor Jenderal Soengkono sebagai panglima militer Jawa Timur. Tanggal 23
September 1948 Menteri Agama KH Masjkoer mengucapkan pidato radio yang tegas
menyebutkan bahwa tindakan merebut kekuasaan bertentangan dengan agama dan sama
seperti perbuatan permusuhan orang-orang yang pro Belanda. Dengan janji-janji
palsu rakyat dipengaruhi, dibujuk, dihasut, dipaksa dan dijadikan tameng oleh
PKI Moeso.
Pidato Menteri Agama KH
Masjkoer yang mengatakan bahwa rakyat dipengaruhi, dibujuk, dihasut, dipaksa
dan dijadikan tameng oleh PKI Moeso tidak mengada-ada. Itu bukti sewaktu pidato
Presiden Soekarno dicetak sebagai selebaran yang disebarkan kepada penduduk melalui
pesawat terbang. Seketika – usai membaca selebaran berisi pidato Presiden
Soekarno – penduduk yang dipersenjatai oleh PKI beramai-ramai meletakkan
senjata. Mereka duduk di trotoar jalan dalam keadaan bingung. Mereka terkejut
dan bingung sewaktu sadar bahwa gerakan yang mereka lakukan itu bertujuan untuk
melawan Presiden Soekarno. Mereka pun mulai bertanya-tanya tentang siapa
sejatinya Moeso yang mengaku pemimpin rakyat itu.
Sejarah mencatat, bahwa
antara tanggan 18-21 September 1948 gerakan maker FDR/PKI yang dilakukan dengan
sengat cepat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai pemberontakan. Sebab
dalam tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah membunuh pejabat-pejabat Negara
baik sipil maupun militer, tokoh masyarakat,
tokoh politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh agama. Dengan kekejaman khas kaum
komunis – seperti kelak dipraktekkan lagi di Kampuchea selama rezim Pol Pot
berkuasa – bagian terbesar dari mayat-mayat yang dibunuh dengan sangat kejam
oleh FDR/PKI itu dimasukkan ke dalam sumur-sumur “neraka” secara
tumpuk-menumpuk dan tumpang-tindih. Sebagian lagi di antara tawanan FDR/PKI
ditembak di “Ladang Pembantaian” di Pabrik Gula Gorang-Gareng maupun di Alas
Tuwa.
Setelah gerakan maker
FDR/PKI berhasil ditumpas oleh TNI yang dibantu masyarakat, awal Januari tahun
1950 sumur-sumur “neraka” yang digunakan FDR/PKI mengubur korban-korban
kekejaman mereka dibongkar oleh pemerintah. Berpuluh-puluh ribu masyarakat dari
Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek berdatangan menyaksikan
pembongkaran sumur-sumur “neraka”. Mereka bukan sekedar melihat peristiwa
langka itu, kebanyakan mereka mencari anggota keluarganya yang diculik PKI.
Diantara sumur-sumur
“neraka” yang dibongkar itu, informasinya diketahui justru berdasar pengakuan
orang-orang PKI sendiri. Dalamproses pembongkaran sumur-sumur “neraka” itu
terdapat tujuh lokasi ditambah dua lokasi pembantaian di Magetan, yaitu:
1. Sumur “neraka” Desa Dijenan, Kec.Ngadirejo,
Kab.Magetan;
2. Sumur “neraka” I Desa Soco, Kec.Bendo, Kab.Magetan;
3. Sumur “neraka” II Desa Soco, Kec.Bendo, Kab.Magetan;
4. Sumur “neraka” Desa Cigrok, Kec.Kenongomulyo, Kab.Magetan;
5. Sumur “neraka” Desa Pojok, Kec.Kawedanan, Kab.Magetan;
6. Sumur “neraka” Desa Batokan, Banjarejo, Kab.Magetan;
7. Sumur “neraka” Desa Bogem, Kec.Kawedanan, Kab.Magetan;
2. Sumur “neraka” I Desa Soco, Kec.Bendo, Kab.Magetan;
3. Sumur “neraka” II Desa Soco, Kec.Bendo, Kab.Magetan;
4. Sumur “neraka” Desa Cigrok, Kec.Kenongomulyo, Kab.Magetan;
5. Sumur “neraka” Desa Pojok, Kec.Kawedanan, Kab.Magetan;
6. Sumur “neraka” Desa Batokan, Banjarejo, Kab.Magetan;
7. Sumur “neraka” Desa Bogem, Kec.Kawedanan, Kab.Magetan;
Dan dua lokasi killing
fields yang digunakan FDR/PKI membantai musuh-musuhnya, yaitu ruang kantor dan
halaman Pabrik Gula Gorang-Gareng dan Alas Tuwa di dekat Desa Geni Langit di
Magetan
Fakta kekejaman FDR/PKI
dalam gerakan pemberontakan tahun 1948 disaksikan puluhan ribu warga masyarakat
yang menonton pembongkaran sumur-sumur “neraka” itu, yang setelah
diidentifikasi diperoleh sejumlah nama pejabat pemerintahan sipil maupun TNI,
ulama, tokoh Masjoemi, tokoh PNI, Polisi, Camat, Kepala Desa, bahkan Guru.
Tindak kebiadaban
FDR/PKI selama melakukan aksi makarnya tahun 1948 yang disaksikan puluhan ribu
penduduk laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak yang menonton pengangkatan
jenazah para korban dari sumur-sumur “neraka” yang tersebar di Magetan dan
Madiun, adalah rekaman peristiwa yang tidak akan terlupakan. Peristiwa
pembongkaran sumur-sumur “neraka” itu telah memunculkan asumsi abadi dalam
ingatan bawah sadar masyarakat bahwa PKI memiliki hubungan erat dengan
pembunuhan manusia yang dimasukkan ke dalam sumur “neraka”. Itu sebabnya,
ketika tanggal 1 Oktober 1965 tersiar kabar para jenderal TNI AD diculik PKI
dan kemudian ditemukan sudah menjadi mayat di dalam sumur “neraka” Lubang Buaya
di dekat Halim, amarah masyarakat seketika meledak terhadap PKI, termasuk di
lingkungan aktivis Gerakan Pemuda Ansor yang sejak 1964 membentuk Barisan Ansor
Serbaguna (Banser) di berbagai daerah yang dilatih kemiliteran karena memenuhi
keinginan Presiden Soekarno membentuk kekuatan sukarelawan untuk mengganyang
Malaysia, di mana anggota Banser yang emosinya tak terkendali – terutama
setelah tewasnya 155 anggota Ansor Banyuwangi yang dibunuh PKI – dimanfaatkan
oleh pihak militer untuk bersama-sama menumpas kekuatan PKI yang telah membunuh
para jenderal mereka.
Artikel
ini ditulis oleh Agus Sunyoto.
Pertama
kali dimuat di bulletin Risalah edisi 36 tahun IV 1433 H/ 2012 hal 24-29,
dipublikasikan ulang oleh blog remental.blogspot.co.id
Penulis
adalah peneliti sejarah Peristiwa Madiun 1948 yang diterbitkan dalam buku
berjudul “Lubang-Lubang Pembantaian: Gerakan Makar FDR/PKI 1948 Di Madiun”
(1990).
Penulis
peneliti konflik Banser-PKI 1965 di Jawa Tengah yagn diterbitkan dalam buku
berjudul “Banser Berjihad Menumpas PKI” (1995).
Penulis
peneliti operasi Trisula 1966-1986 di Blitar yang dimuat bersambung di harian
Jawa Pos September-Oktober 1995.
0 komentar:
Posting Komentar