Jumat, 22 April 2016

Jangan Melupakan Sejarah, Fakta Kebiadaban PKI yang Telah Membunuh Ribuan Muslim Indonesia


67 tahun sejak peristiwa pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 dan kemudian berulang kembali peristiwa pemberontakan pada G30SPKI tahun 1965, namun ancaman komunisme di Indonesia seakan sengaja dibiaskan. Bahkan beberapa pihak sempat mewacanakan
agar pemerintah Indonesia harus meminta maaf terhadap kader-kader Partai Komunis Indonesia (PKI).


Berikut ini tulisan dari sejarawan bernama Agus Sunyoto yang mengungkapkan fakta sejarah bagaimana kebiadaban PKI dalam upaya melakukan maker dan pemberontakan, ribuan nyawa umat islam Indonesia telah menjadi korban, simbol-simbol islam telah dihancurkan.

Kebiadaban PKI Madiun 1948 Terhadap Ulama NU “Tanggal 18 September 1948 pagi sebelum terbit fajar, sekitar 1500 orang pasukan FDR/PKI – 700 orang diantaranyadari kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Pandjang Djoko Prijono – bergerak ke pusat kota Madiun. Kesatuan CPM, TNI, Polisi beserta aparat pemerintahan sipil terkejut ketika diserang mendadak. Terjadi perlawanan singkat di markas TNI, Kantor CPM, kantor Polisi.

Pasukan Pesindo bergerak cepat menguasai tempat-tempat strategis di Madiun. Saat fajar terbit, Madiun sudah jatuh ke tangan FDR/PKI. Sekitar 350 orang ditahan,”

Keberhasilan FDR/PKI menguasai Madiun disusul terjadinya aksi penjarahan, penangkapan sewenang-wenang terhadap musuh PKI, menembak musuh PKI, kegemparan dan kepanikan pun pecah di kalangan penduduk, diiringi tindakan-tindakan bersifat fasisme yang berlangsung dengan mengerikan. Semua pimpinan Masyumi dan PNI ditangkap atau dibunuh.

Orang-orang berpakaian Warog Ponorogo dengan senjata revolver dan kelewang menembak atau menyembelih orang-orang yang dianggap musuh PKI. Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang jalan. Bendera merah putih dirobek diganti bendera merah berlambang palu arit. Potret Soekarno diganti potret Moeso. Seorang wartawan Sin Po yang berada di Madiun, menuliskan detik-detik ketika PKI pamer kekejaman itu dalam reportase yang diberi judul: ‘Kekedjaman Kaoem Communist; Golongan Masjoemi menderita paling heibat; Bangsa Tionghoa “ketjipratan” djoega.’

Pada detik, menit dan jam yang hampir sama, di kota Magetan sekitar 1.000 orang pasukan FDR/PKI – 700 orang diantaranya dari Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Moersjid – bergerak cepat menyerbu Kabupaten, kantor Komando Distrik Militer (Kodim), Kantor Onder Distrik Militer (Korami), Kantor Resort Polisi, rumah kepala pengadilan, dan kantor pemerintahan sipil di Magetan. Sama dengan penyerangan mendadak di Madiun, setelah menguasai Kota Magetan dan menawan Bupati, Patih, Sekretaris Kabupaten, Jaksa, Ketua Pengadilan, Kapolres, komandan Kodim, dan aparat Kabupaten Magetan, terjadi aksi penangkapan terhadap tokoh-tokoh Masyumi dan PNI di kampong-kampung, pesantren-pesantren, desa-desa, pabrik gula, diikuti penjarahan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan. Wartawan Gadis Rasid yang menyaksikan pembantaian missal di Gorang-Gareng, Magetan, menulis reportase tentang kebiadaban FDR/PKI tersebut. Pembunuhan, perampokan dan penangkapan yang dilakukan FDR/PKI itu diberitakan surat kabar Merdeka 1 November 1948.

Meski tidak sama dengan aksi serangan di Madiun dan Magetan yang sukses mengambil alih pemerintahan, serangan mendadak yang sama pada pagi hari tanggan 18 September 1948 itu dilakukan oleh pasukan FDR/PKI di Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Purwodadi, Kudus, Pati , Blora, Rembang, Cepu. Sama dengan di Madiun dan Magetan, aksi serangan FDR/PKI meninggalkan jejak pembantaian missal terhadap musuh-musuh mereka. Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa Tengah tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat pemerintah, tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan mereka yang dikenal Karena kesalehannya kepada islam: mereka itu ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang. Mesjid dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu madrasahnya dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan. Setelah itu, rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak.

Tindakan kejam FDR/PKI selama menjalankan aksi kudeta itu menyulut amarah Presiden Soekarno yang mengecam tindakan tersebut dalam pidato yang berisi seruan bagi “rakyat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri dengan memilih: ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka- atau ikut Soekarno-Hatta, yang insya Allah dengan bantuan tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia ke Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apapun juga. Presiden Soekarno menyeru agar rakyat membantu alat pemerintahan untuk memberantas semua pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah. Madiun harus lekas di tangan kita kembali.”

Seruan Presiden Soekarno disambut oleh Menteri Hamengkubowono yang disusul sambutan Menteri Soekiman dan Jenderal Soedirman yang membacakan surat keputusan pengangkatan Mayor Jenderal Soengkono sebagai panglima militer Jawa Timur. Tanggal 23 September 1948 Menteri Agama KH Masjkoer mengucapkan pidato radio yang tegas menyebutkan bahwa tindakan merebut kekuasaan bertentangan dengan agama dan sama seperti perbuatan permusuhan orang-orang yang pro Belanda. Dengan janji-janji palsu rakyat dipengaruhi, dibujuk, dihasut, dipaksa dan dijadikan tameng oleh PKI Moeso.

Pidato Menteri Agama KH Masjkoer yang mengatakan bahwa rakyat dipengaruhi, dibujuk, dihasut, dipaksa dan dijadikan tameng oleh PKI Moeso tidak mengada-ada. Itu bukti sewaktu pidato Presiden Soekarno dicetak sebagai selebaran yang disebarkan kepada penduduk melalui pesawat terbang. Seketika – usai membaca selebaran berisi pidato Presiden Soekarno – penduduk yang dipersenjatai oleh PKI beramai-ramai meletakkan senjata. Mereka duduk di trotoar jalan dalam keadaan bingung. Mereka terkejut dan bingung sewaktu sadar bahwa gerakan yang mereka lakukan itu bertujuan untuk melawan Presiden Soekarno. Mereka pun mulai bertanya-tanya tentang siapa sejatinya Moeso yang mengaku pemimpin rakyat itu.

Sejarah mencatat, bahwa antara tanggan 18-21 September 1948 gerakan maker FDR/PKI yang dilakukan dengan sengat cepat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai pemberontakan. Sebab dalam tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah membunuh pejabat-pejabat Negara baik  sipil maupun militer, tokoh masyarakat, tokoh politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh agama. Dengan kekejaman khas kaum komunis – seperti kelak dipraktekkan lagi di Kampuchea selama rezim Pol Pot berkuasa – bagian terbesar dari mayat-mayat yang dibunuh dengan sangat kejam oleh FDR/PKI itu dimasukkan ke dalam sumur-sumur “neraka” secara tumpuk-menumpuk dan tumpang-tindih. Sebagian lagi di antara tawanan FDR/PKI ditembak di “Ladang Pembantaian” di Pabrik Gula Gorang-Gareng maupun di Alas Tuwa.

Setelah gerakan maker FDR/PKI berhasil ditumpas oleh TNI yang dibantu masyarakat, awal Januari tahun 1950 sumur-sumur “neraka” yang digunakan FDR/PKI mengubur korban-korban kekejaman mereka dibongkar oleh pemerintah. Berpuluh-puluh ribu masyarakat dari Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek berdatangan menyaksikan pembongkaran sumur-sumur “neraka”. Mereka bukan sekedar melihat peristiwa langka itu, kebanyakan mereka mencari anggota keluarganya yang diculik PKI.

Diantara sumur-sumur “neraka” yang dibongkar itu, informasinya diketahui justru berdasar pengakuan orang-orang PKI sendiri. Dalamproses pembongkaran sumur-sumur “neraka” itu terdapat tujuh lokasi ditambah dua lokasi pembantaian di Magetan, yaitu:
1. Sumur “neraka” Desa Dijenan, Kec.Ngadirejo, Kab.Magetan;
2. Sumur “neraka” I Desa Soco, Kec.Bendo, Kab.Magetan;
3. Sumur “neraka” II Desa Soco, Kec.Bendo, Kab.Magetan;
4. Sumur “neraka” Desa Cigrok, Kec.Kenongomulyo, Kab.Magetan;
5. Sumur “neraka” Desa Pojok, Kec.Kawedanan, Kab.Magetan;
6. Sumur “neraka” Desa Batokan, Banjarejo, Kab.Magetan;
7. Sumur “neraka” Desa Bogem, Kec.Kawedanan, Kab.Magetan;

Dan dua lokasi killing fields yang digunakan FDR/PKI membantai musuh-musuhnya, yaitu ruang kantor dan halaman Pabrik Gula Gorang-Gareng dan Alas Tuwa di dekat Desa Geni Langit di Magetan

Fakta kekejaman FDR/PKI dalam gerakan pemberontakan tahun 1948 disaksikan puluhan ribu warga masyarakat yang menonton pembongkaran sumur-sumur “neraka” itu, yang setelah diidentifikasi diperoleh sejumlah nama pejabat pemerintahan sipil maupun TNI, ulama, tokoh Masjoemi, tokoh PNI, Polisi, Camat, Kepala Desa, bahkan Guru.

Tindak kebiadaban FDR/PKI selama melakukan aksi makarnya tahun 1948 yang disaksikan puluhan ribu penduduk laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak yang menonton pengangkatan jenazah para korban dari sumur-sumur “neraka” yang tersebar di Magetan dan Madiun, adalah rekaman peristiwa yang tidak akan terlupakan. Peristiwa pembongkaran sumur-sumur “neraka” itu telah memunculkan asumsi abadi dalam ingatan bawah sadar masyarakat bahwa PKI memiliki hubungan erat dengan pembunuhan manusia yang dimasukkan ke dalam sumur “neraka”. Itu sebabnya, ketika tanggal 1 Oktober 1965 tersiar kabar para jenderal TNI AD diculik PKI dan kemudian ditemukan sudah menjadi mayat di dalam sumur “neraka” Lubang Buaya di dekat Halim, amarah masyarakat seketika meledak terhadap PKI, termasuk di lingkungan aktivis Gerakan Pemuda Ansor yang sejak 1964 membentuk Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di berbagai daerah yang dilatih kemiliteran karena memenuhi keinginan Presiden Soekarno membentuk kekuatan sukarelawan untuk mengganyang Malaysia, di mana anggota Banser yang emosinya tak terkendali – terutama setelah tewasnya 155 anggota Ansor Banyuwangi yang dibunuh PKI – dimanfaatkan oleh pihak militer untuk bersama-sama menumpas kekuatan PKI yang telah membunuh para jenderal mereka.

Artikel ini ditulis oleh Agus Sunyoto.

Pertama kali dimuat di bulletin Risalah edisi 36 tahun IV 1433 H/ 2012 hal 24-29, dipublikasikan ulang oleh blog remental.blogspot.co.id

Penulis adalah peneliti sejarah Peristiwa Madiun 1948 yang diterbitkan dalam buku berjudul “Lubang-Lubang Pembantaian: Gerakan Makar FDR/PKI 1948 Di Madiun” (1990).

Penulis peneliti konflik Banser-PKI 1965 di Jawa Tengah yagn diterbitkan dalam buku berjudul “Banser Berjihad Menumpas PKI” (1995).

Penulis peneliti operasi Trisula 1966-1986 di Blitar yang dimuat bersambung di harian Jawa Pos September-Oktober 1995.

0 komentar:

Posting Komentar